Jiwa ke-PKNinsme dalam diri seorang siswa

Ayo latihan soal PKN di sini.

Bergabung bersama kami dan selamatkan indonesia.

Jangan Hanya Menjadi Penonton Dalam Perkembangan Dunia.

Persenjataan Untuk Menyerang

Ayo lihat di blog ini.

Pro Evolution Soccer 2014

Lihat di Blog ini.

Jumat, 27 Juni 2014

Kapal Hidro Oseanografi Pesanan TNI AL Dijadwalkan Datang Januari 2015


Kapal Hidro Oseanografi OCEA OSV190 SC WB mempunyai panjang total 60,10 m (image : Gican)

Indonesia Beli 2 Kapal Survei Canggih TNI AL US$ 100 Juta


Les Sables d'Olonne - Survei dan pemetaan laut menjadi faktor penting bagi pertahanan Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Karena itu, pemerintah melalui Kementerian Pertahanan (Kemhan) membeli dua kapal survei canggih dan berteknologi tinggi dari Prancis. Kedua kapal ini dibeli dengan harga US$ 100 juta. 


Kedua kapal ini tengah dikerjakan oleh OCEA S.A. di galangan kapal pelabuhan di Les Sables d'Olonne, sekitar 620 KM dari Paris. Kesepakatan pembelian dua kapal BHO (bantu hidro dan oseanografi) sudah diteken pada Oktober 2013 lalu dan merupakan tindak lanjut atas hubungan kerja sama pemerintah Indonesia dan Prancis. 


"Dulu, sebetulnya yang ikut tender juga Korea Selatan. Tapi, setelah dikaji mendalam, termasuk alat-alat dan teknologi yang digunakan, akhirnya diputuskan memesan kapal dari Prancis," kata Kepala Badan Perencanaan Pertahanan (Kabaranahan) Laksda TNI Rachmad Lubis di sela-sela memantau proses pembuatan kapal di Les Sables d'Olonne, Kamis (26/6/2014). 


Kapal ini akan dilengkapi dengan peralatan canggih di bidang oseanografi. Misalnya, kapal ini akan memiliki teknologi untuk memetakan bawah laut hingga kedalaman 6.000 meter. Juga dilengkapi dengan teknologi multi bim yang bisa mencatat gelombang dan frekuensi bawah laut dengan tepat. 


"Jadi nanti kapal ini selain bisa digunakan untuk pemetaan laut dan survei, juga bisa mendeteksi benda-benda di laut, seperti dalam pencarian pesawat yang jatuh, dan lain-lain. Kapal ini nanti juga bisa mendeteksi kapal selam musuh yang sedang sembunyi di bawah laut," kata Dan Satgas BHO, Kolonel Budi. 


Fungsi utama dari kapal ini adalah untuk pemetaan dan survei di wilayah perairan Indonesia. Data-data ini sangat penting bila Indonesia mengalami hal terburuk seperti perang. Begitu ada perang, TNI sudah memiliki data-data dari survei dan pemetaan ini, sehingga bisa mengambil keputusan yang tepat terkait pertahanan. 


Saat ini data pemetaan laut Indonesia sudah tidak diupdate berpuluh-puluh tahun, terutama di perairan kawasan timur. Dengan adanya dua kapal survei canggih ini, Indonesia akan bisa memperbarui data-data pemetaan bawah laut di semua perairan Indonesia. Karena kapal survei, maka di kapal ini juga dilengkapi laboratorium-laboratorium yang canggih. 


Sementara Kepala Pusat Pengadaan (Kapusada) Kemhan Marsma Asep S mengatakan desain kapal survei ini diputuskan melalui koordinasi yang mendalam antara Indonesia dengan OCEA. "Desain mengalami penyempurnaan-penyempurnaan. OCEA mengusulkan desain awal, kemudian Indonesia mengoreksi sesuai yang diinginkan kita," kata Asep. 


Kapal pertama akan selesai dibuat pada akhir September 2014. Setelah melalui serangkaian administratif, pemberian nama, dan upacara serah terima, kapal ini diperkirakan akan tiba di Indonesia pada awal Januari 2015. Sedangkan kapal kedua, direncanakan selesai dibuat pada Agustus 2015 dan akan tiba di Indonesia bulan September 2015. (Detik)



Kapal Survei TNI AL Dilengkapi Senjata Kaliber 12,7 mm dan 20 mm


Les Sables d\'Olonne - Beberapa bulan lagi TNI AL memiliki kapal survei modern yang canggih dan keren berteknologi tinggi. Kapal yang tengah dibuat di Prancis ini ‎dilengkapi peralatan survei terbaru dan juga senjata kaliber 12,7 mm dan 20 mm. Senjata ini digunakan untuk pertahanan diri. 


Senjata kaliber 12,7 mm terdiri dari dua pucuk, akan dipasang di anjungan samping kanan dan kiri. Sedangkan senjata kaliber 20 mm akan dipasang di anjungan bagian depan. 


"Senjata ini tidak besar, karena hanya sebagai self defence," kata Dan Satgas BHO (Bantu Hidro dan Oceanografi) Kolonel Budi Purwanto di sela-sela meninjau pembuatan kapal survei untuk TNI AL di galangan kapal pelabuhan Les Sables d'Olonne, Kamis (26/6/2014).


Kapal ini akan dilengkapi juga dengan laboratorium yang berteknologi modern. Kapal juga dilengkapi dengan ruang-ruang tidur tamtama, bintara, dan perwira yang cukup nyaman, karena untuk pemetaan dan survei, personel akan berada di tengah laut hingga berhari-hari. Begitu juga ada ruang makan dan ruang pertemuan yang baik. 


Kapal ini akan diawaki sekitar 41 personel, termasuk peneliti dari TNI AL. Rencananya pada bulan Juli nanti, 41 personel ini akan berangkat menuju Prancis untuk melakukan training dan pengenalan kapal. Mereka nanti yang akan membawa kapal survei pertama ke Indonesia di akhir 2014. Diperkirakan butuh waktu 5 minggu untuk membawa kapal berbobot 500 ton dari Paris hingga tiba di Indonesia. 



Kelebihan kapal ini adalah bodi kapal terbuat dari alumunium dan baja, sehingga tidak cepat berkarat. Kapal dengan panjang 60 meter dan lebar 11 meter ini juga akhirnya memiliki berat yang lebih ringan, hanya 500 ton. Padahal, kapal-kapal dengan ukuran yang sama bisa mencapai 1.500 ton. 


Lantas, apakah kapal ini akan mudah tergoyang oleh ombak karena berbobot ringan? Ternyata tidak. Saat ini telah ada teknologi baru menggunakan dynamic tank yang bisa membuat kapal lebih stabil dari goncangan ombak, meski hanya 2,5 meter bagian bawah kapal yang masuk ke dalam air laut. "Dengan bobot 500 ton, penggunaan BBM juga pasti akan lebih efisien," kata salah seorang perwira Satgas BHO. 


Saat ini 6 perwira dari Dinas Hidros (Hidro dan Oseanografi) TNI AL terus memantau pembuatan kapal survei ini. Indonesia memesan dua kapal survei dengan biaya US$ 100 juta. Kapal pertama akan selesai bulan September 2014 dan akan tiba di Indonesia awal Januari 2015. Kapal kedua akan selesai bulan Agustus 2015 dan akan tiba di Indonesia pada September 2015. 


Fungsi utama kapal ini adalah untuk pemetaan dan survei di wilayah perairan Indonesia. Data-data ini sangat penting bila Indonesia mengalami hal terburuk seperti perang. Begitu ada perang, TNI sudah memiliki data-data dari survei dan pemetaan ini, sehingga bisa mengambil keputusan yang tepat terkait pertahanan. 


Kapal ini juga bisa dengan cepat mendeteksi benda-benda asing dan mencurigakan di bawah laut, seperti bangkai pesawat yang jatuh atau kapal selam musuh. Kapal ini dilengkapi dengan alat-alat pemetaan tiga dimensi dan bisa menjangkau pemantauan hingga kedalaman 6.000 meter.


(Detik)

First Royal New Zealand Air Force Beechcraft T-6C Takes Flight


The first RNZAF T-6C takes off. (all photos : RNZAF)

The first RNZAF Beechcraft T-6C advanced trainer has made its first flight from Beechcraft’s Wichita facility in Kansas on June 10.


The aircraft – NZ1401 – made the flight with a Beechcraft company crew at the controls and lasted two hours, and functionality checks such as flight performance and handling characteristics were conducted. It will carry the US civil registration of N2824B while the initial flight test program is completed.




New Zealand ordered 11 T-6Cs in January to replace CT-4E trainers in the basic course, and elements of the advanced course currently conducted by the King Air. The first six RNZAF Qualified Flying Instructors (QFIs) are due to commence their conversion to the T-6C in August, and the first four aircraft will be delivered by the end of this year.


The aircraft will be based at Ohakea, and will commence pilot training in mid-2015 by which time all 11 aircraft will have been delivered.


(Australian Aviation)

[World News] Developing Countries Fighter Aircraft Challenge Western Military Planes


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHkWit0ZfueBLmE9NkX487qWu2oE7KIceqnYAWax5T3cPIHAqucd87gtHvk2WCB7xBxBlc8X-k5nCX_5jU5RLA08zGcP8ymzgkbfeB4AB94pvklyRwzrt2YIuejn_q6YIGOVzI7jzzo_c/s1600/RIkfx.jpgThe sky high cost of fighter aircraft acquisition is forcing developing countries to embark on their own programs in the process challenging the price and performance of American and European fighters.

Turkey, South Korea, India, China and Pakistan claim to beat out western aircraft on cost. Though their technology may be inferior to that of Western or Russian aircraft, the level of equipment and armaments on these aircraft is considered ‘sufficient’ for their air forces.

What should worry airplane manufacturers such as Lockheed Martin, Boeing, Eurofighter, Dassault and Saab is that some of the fighter plane manufacturers from the developing countries are eyeing the export market for relatively lower-priced fighter aircraft. This has come at a time when some countries in Asia, Africa and South America are looking to replace their Vietnam-era planes such as the F-5s, Mirage F-1s and MiG-21s with more modern planes.

The South Korean KFX project which is aimed at producing F-16-class fighter jets is slated to fructify by 2023 and deploy 120 units over the following several years.

“The KFX may prove that smaller nations, when combining funds and resources, can produce a near fifth-generation aircraft that approaches the capability of a fighter produced by countries with far greater resources, such as the U.S., Russia and China. But this is unlikely. KFX, if completed, may be appealing to less wealthy nations who cannot afford the F-35”, Richard Weitz, director of the Center for Political-Military Analysis at the Hudson Institute was quoted as saying in the New York times.

Japan, whose military industry was blunted after World War II, is trying to get back into the global defence business. Its planned Mitsubishi ATD-X ShinShin developed by Japanese Ministry of Defense Technical Research & Development Institute is a first of its kind jet fighter with some advanced technology not even available in western fighters.

This fighter plane is being developed as a 5th gen fighter to form the mainstay of the Japanese Self Defence Forces. Japan plans to replace its aging fleet of F-4s and F-15s planes.

The U.S. RAND Corporation published a report on China's arms exports, claiming that the J-10 fighter jet sold for less than US$40 million; whereas by contrast, the U.S. F-16, a similar class aircraft in active service, costs US$65 million. FC-1 fighter jets, K-8 jet trainer and light attack aircraft produced from joint research and design between China and Pakistan.

Reports say that Myanmar is looking to purchase a license to domestically produce the J-17 aircraft, which is called the FC-1 Xiaolong in China. If the report is accurate, it would make Myanmar the first foreign purchaser of the jet. Currently, only Pakistan’s Air Force operates the J-17.

The JF-17 is a lightweight single engine multi-role combat aircraft developed jointly by China and Pakistan.

It can be armed with a variety of bombs and missiles including PL-5EII, PL-9C and PL-12 AAMs, C-802A anti-ship missiles, general purpose bombs, and laser guided munitions and countermeasures on its 7 hard points (four under wing, 2 wingtip, 1 under fuselage). The aircraft’s standard set of armaments are supplemented by a 23 mm GSh-23-2 twin barrel cannon or 30 mm version of the same.

The standard export price for the JF-17 Block I is $20 million and Block 2 being $25 million. Pakistan Air Force is the lone operator of the JF-17 with 54 aircraft operational including 6 prototypes.

Pakistan is the most likely buyer for the J-31, at this moment following their joint development work on the JF-17 Thunder advanced fighter.

J-31 is a twin-engine, mid-size fifth-generation jet fighter. It is said to be equipped with twin Russian RD-93 engines.

Turkey hopes that the indigenous TF-X will fly by 2023. Turkey’s aerospace powerhouse, Turkish Aerospace Industries (TAI), has been debating three designs.

Turkey's Defense Industry Executive Committee (SSIK) decided to design, develop, and manufacture an indigenous next generation air-to-air combat fighter which would replace Turkey's F-16 fleet and work together with the F-35.

India’s Light Combat Aircraft (LCA), also called Tejas has been long in development but the program has accelerated over the last few years with a limited series of aircraft flying with the Indian Air Force. The aircraft is the Saab Gripen class and is rumored to satisfy the Indian Air Force’s demand for a replacement for the MiG-21.
  defenseworld 

RI-Timor Leste Saling Klaim Lahan di Perbatasan, Satu Pulau Terancam Bisa Lepas

RI-Timor Leste Saling Klaim Lahan di PerbatasanPrajurit TNI berjaga di perbatasan Indonesia - Timor Leste di Desa Looluna, Belu, Nusa Tenggara Timur (4/7). ANTARA/Yudhi Mahatma

P
emerintah Indonesia dan Timor Leste masih mempersoalkan masalah perbatasan antara kedua negara di atas lahan seluas 1.211,7 hektare yang terdapat di dua titik batas yang belum terselesaikan.

"Masih ada dua titik perbatasan kedua negara yang belum diselesaikan antara Indonesia dan Timor Leste," kata Kepala Seksi (Kasie) Operasional Korem 161 Wira Sakti Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Letnan Kolonel Waris Ari Nugroho, Rabu, 25 Juni 2014.

Dua titik batas yang masih dipersoalkan antara kedua negara yakni wilayah di Desa Oepoli, Kabupaten Kupang, yang berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, dengan luas 1.069 hektare.

Di daerah itu terdapat satu desa yakni Naktuka yang dihuni 45 kepala keluarga berada di zona bebas, namun mereka lebih mendapat perhatian dari pemerintah Timor Leste. "Pemerintah Indonesia tidak mengurusi warga di Naktuka, sehingga mereka diurusi oleh negara tetangga," katanya.

Batas lainnya yang masih bermasalah terletak di Bijai Suna, Desa Oben, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), yang juga berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, seluas 142,7 ha. "Tidak ada penduduk di lokasi sengketa itu," katanya.

Selain dua batas wilayah yang belum disepakati itu, katanya, terdapat satu titik batas yang sudah disepakati antara kedua negara, yakni Subinah, TTU. Namun masyarakat di perbatasan menolak batas wilayah yang telah ditetapkan itu, sehingga sering terjadi konflik antarwarga dua negara di wilayah perbatasan itu. "Kami sudah tempatkan personil TNI untuk mengamankan wilayah itu," katanya.
Sengketa Perbatasan, Satu Pulau Bisa Lepas Sengketa Perbatasan, Satu Pulau Bisa LepasSejumlah warga melambaikan bendera menyambut kedatangan helikopter M1 milik TNI AD saat mendarat di perbatasan Indonesia - Timor Leste di Desa Looluna, Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) (4/7). ANTARA/Yudhi Mahatma
Pulau Batek, salah satu pulau terluar yang terletak Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) terancam menjadi milik Timor Leste, jika masalah perbatasan antarnegara di kecamatan itu tak segera diselesaikan.

"Jika mengikuti patok batas pemerintah Timor Leste, maka Pulau Batek akan menjadi milik mereka," kata Kepala Staf Kodim 1604 Kupang, Mayor (Inf) Dwi Kristianto kepada Tempo di Kupang, Jumat, 25 Oktober 2013.

Pulau Batek adalah satu dari empat pulau terluar di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dijaga oleh anggota TNI. Empat pulau terluar itu adalah Pulau Batek, Ndana Rote, Ndana Sabu, dan Mengudu di Sumba Timur.

Menurut dia, berdasarkan pemahaman warga Distrik Oekusi, Timor Leste, patok batas antar-kedua negara berada di Nonotuinan atau sungai kecil di bagian barat, sedangkan pemahaman warga dan pemerintah Indonesia batas antar-kedua negara berada di Noelbesi atau sungai besar di bagian timur.

"Jika mengikuti pemahaman batas Timor Leste, maka Pulau Batek masuk ke wilayah Timor Leste, bukan Indonesia," katanya.

Dengan belum adanya kesepakatan batas antar-kedua negara itu, maka ditetapkan zona bebas di Desa Naktuka, Kecamatan Amfoang Timur. Kedua belah pihak dilarang beraktifitas di zona tersebut.

Sementara itu, Bupati Kupang, Ayub Titu Eki mengatakan penyelesaian masalah batas antara Indonesia dan Timor Leste khususnya di wilayah Naktuka, Kabupaten Kupang menjadi urusan pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah hanya melakukan pendekatan adat agar tidak terjadi konflik di perbatasan kedua negara.

"Jika diserahkan ke pemerintah daerah, pasti masalah sudah selesai, karena dilakukan secara adat," katanya.
  Tempo 

First 2 F/A-50s to be Delivered in September 2015 for Philippine Air Force



F/A-50 model (photo : pdff)

MANILA (PNA) -- Defense Secretary Voltaire Gazmin on Thursday said that the first two South Korean made F/A-50 "Fighting Eagle" jet aircraft will be delivered by September 2015.

But prior this, Air Force pilots with high jet time and maintenance crews, will be first sent to South Korea for briefing and training.

Gazmin expects delivery of the remaining F/A-50s to be completed within two years after the delivery of the first two.

"And after the F/A-50s, we are hoping that we will soon acquire our first modern fighter aircraft," the defense chief said in Filipino.

The Philippines and South Korea signed the P18.9-billion contract for the 12 F/A-50 units last March 28.

The South Korean jet aircraft can be used to redevelop the supersonic capabilities of the PAF whose last supersonic planes, the Northrop F-5 "Tiger", was retired last 2005.

The F/A-50, as per technical specifications obtained from the Department of National Defense (DND), can carry a total of 10,500lbs of weapons including an internal 20-mm automatic cannon, two short-ranged air-to-air AIM-9 "Sidewinder" missiles and air-to-surface AGM-65 missiles for close-air support.

A guidance kit called the JDAM (joint direct attack munition) is also installed into the F/A-50, allowing it to convert unguided or "dumb bombs" into all-weather smart munitions.

These bombs are outfitted with an inertial guidance system that is tied to a global positioning system receiver to guide the deployed munition intended to precisely hit a specific target, and to minimize collateral damage.

This is the first-ever Philippine Air Force (PAF) aircraft to employ such weapons as the Northrop F-5 "Tiger" and Vought F-8 "Crusader" which are the country's first class supersonic fighters do not have the above-mentioned capabilities.

Both planes are only armed with 20mm cannons, air-to-air missiles and unguided bombs and rockets.

The Philippines retired its F-8 fleet sometime in 1990 due to maintenance costs.

Korean Aerospace Industries (KAI)'s F/A-50 has a top speed of Mach 1.5 or one and half times the speed of sound.

The F/A-50 will act as the country's interim fighter until the Philippines get enough experience of operating fast jet assets and money to fund the acquisition of more capable fighter aircraft.

The F/A-50 design is largely derived from the F-16 "Fighting Falcon", and they have many similarities: use of a single engine, speed, size, cost, and the range of weapons.

The aircraft has a maximum speed of Mach 1.4-1.5. 

(PNA)

Indonesian SAMs break cover, promising enhanced anti-UAV capability

Nick Brown, Editor, IDR, Millbrook Proving Ground - IHS Jane's Defence Weekly Indonesia's new Starstreak-armed light SAM system will also carry LMM, affording the system a surface-to-surface and anti-UAV capability. Source: IHS/Patrick Allen
T
he new Land Rover-based surface-to-air missile (SAM) systems destined for Indonesia went on public display for the first time at the Defence Vehicle Dynamics (DV) exhibition at Millbrook Proving Ground on 25 June.

Indonesia ordered the Thales Starstreak SAMs as part of a wider ForceShield air defence package in January 2014 and is understood to have subsequently signed up to acquire Thales' Lightweight Multirole Missile (LMM) in mid-June. Both missiles share a similar physical footprint and are virtually identical from the warhead back, with exactly the same physical connector on their canisters to link into the pedestal mount, enabling the weapons to be carried in mixed loads.

LMM is primarily an anti-surface weapon - it has been selected for the UK's new Future Anti-Surface Guided Weapon (Light) requirement, for example - but it also offers a limited air-defence capability. Warrant Officer Graham Chastell, a member of the UK Defence And Security Organisation's Export Support Group, told IHS Jane's that the weapon's shaped charge/blast fragmentation warhead offers a better capability against small unmanned aerial vehicles and slow helicopters than the triple-hittile Starstreak.

Three ready-to-fire weapons are carried on a pedestal mounted on Land Rover 110 twin-cab vehicles, outfitted for the role by Hobson Industries. Modifications include building a flat loadbed with fold-out sides to increase the operator area, mechanical stabilisers to steady the platform and limited shielding on the rear of the cab. The Land Rover's traditional cargo area is retained beneath the firing platform, offering storage for six missile reloads and other spares.

Thales refused to specify any delivery dates or discuss build numbers, citing customer confidentiality. However, an Indonesian defence source told IHS Jane's earlier in the year that "the British system consists of five batteries costing USD170 million. Funds have been allocated for both, but the systems have yet to be delivered."
 
Indonesia's new Starstreak SAM vehicles have been outfitted by Hobson Industries and offer space for six canisterised reloads beneath the firing platform. (IHS/Patrick Allen)https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3XILGzzYuPJu1XiSe5QXL7HmpILO8uuMH3UUcZUBHpBL2NTCPNJoFXV7PEQS7ftMGUVAns7rh_HvvETzSzMqdB-ktyQryD4NniWj6R-460uzEcordQySCFiNVY1rVQSezO3_fI68961M/s1600/LML-on-Land-Rover.jpg
Indonesia's new Starstreak SAM vehicles have been outfitted by Hobson Industries and offer space for six canisterised reloads beneath the firing platform. (IHS/Patrick Allen)

 
IHS Janes 

Amunisi Meriam Caesar 155 Akan Diproduksi PT Pindad


Amunisi meriam Caesar 155 mm (all photos : Detik)

Roanne - Sambil menyelam minum air. Itulah yang dilakukan Kementerian Pertahanan (Kemhan) dalam pengadaan modernisasi alutsista Indonesia. Membeli senjata, tidak hanya sekadar membeli, tapi juga menyerap teknologi. Sebagai contoh, dalam pembelian meriam Caesar 155 yang memiliki daya tembak 39 KM, Indonesia juga memiliki kerjasama dengan Nexter untuk memproduksi amunisinya bersama PT Pindad. 

Bagaimana rupa amunisi berkaliber 155 mm itu? detikcom berkesempatan melihat dan mencoba mengangkat amunisi berwarna hijau di bagian batangnya dan hitam di pucuknya itu. Wow! Sangat berat, berbobot 47 kg. Untuk membopongnya harus menggunakan dua tangan.

Amunisi berbentuk runcing ini terbagi menjadi dua. Bagian pertama adalah bagian tabung yang berisi mesiu. Bagian kedua adalah sumbu (fuse) yang terletak di bagian ujung yang runcing. Di bagian sumbu ini terdapat timer - berisi angka-angka -, untuk menetapkan kapan amunisi itu meledak setelah didorong oleh meriam. 

Beberapa contoh amunisi meriam Caesar 155 ini dihadirkan saat penyerahan 4 Caesar 155 di ruang workshop pabrik Nexter di Roanne, Prancis, Rabu (25/6/2014). Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin juga sempat berdiri lama melihat amunisi dan berbincang serius dengan pihak Nexter. 


Sjafrie telah mengingatkan Nexter agar segera dibahas mengenai koordinasi dalam pembuatan amunisi itu bersama PT Pindad, sebagai bagian dari kesepakatan yang telah ditandatangani. Saat diingatkan hal ini, M Mike Duckworth, Executive Vice President International Affairs Nexter, menyatakan sangat memahami hal ini dan siap melaksanakannya. 

"Tentunya ke depan kita akan kerjasama, Pindad akan berperan dalam membuat amunisi. Inilah target kemandirian industri pertahanan kita. Kita beli senjata, beli amunisi, kita pelajari juga bagaimana membuat amunisi. Mudah-mudahan 5 tahun ke depan Pindad sudah bisa membuat amunisi kaliber besar untuk meriam 155 mm dan bagaimana membuat amunisi besar untuk artileri lain," kata Sjafrie.

Sebelum meninggalkan pabrik Nexter, Sjafrie juga sempat berbincang serius dengan Duckworth dan mengundang Dirut PT Pindad Sudirman Said dan Danpusenarmed Brigjen TNI Sonhadji. Dalam perbincangan itu, lagi-lagi Sjafrie mengingatkan Nexter agar segera berkoordinasi dengan Pindad dalam kerjasama membuat amunisi. Sudirman Said sebagai dirut Pindad dan Duckworth menegaskan siap untuk berkoordinasi. 

Seperti diketahui, Indonesia membeli 37 unit Caesar 155 dengan biaya US$ 141 juta. Harga ini sudah termasuk dengan 2.000 amunisinya. Caesar 155 merupakan meriam berdaya tembak 39 KM yang terangkut truk, sehingga bisa lebih cepat bergerak.

(Detik)

PTDI Terus Rancang Jet Tempur Untuk Kebutuhan TNI AU

PT Dirgantara Indonesia (PTDI) terus melanjutkan kegiatannya merancang pesawat jet tempur IF-X (Indonesian Fighter Experimental), melalui Kegiatan System Requirement Review (SRR).

Dalam kegiatan SSR tersebut, sejumlah pemangku kepentingan diikutkan, antara lain Kemhan, TNI-AU, KKIP, Bappenas, BPPT, LAPAN, Perguruan Tinggi (ITB, UI, ITS, UGM dan UNDIP) serta beberapa industri lokal terkait seperti PT.LEN, CMI, dan InfoGlobal.

Jet tempur yang dirancang bersama dengan Korea Selatan ini disebut-sebut bakal menyaingi F18, dan harganya pun juga lebih murah.

Dalam siaran pers, Kamis (26/6/2014), PTDI mengatakan, SRR merupakan salah satu tahapan dalam program pengembangan dan rancang bangun pesawat tempur. Pada tahapan ini diharapkan program akan mendapatkan berbagai masukan baik teknis maupun non-teknis dari para pakar pada bidangnya masing-masing, secara independen.

Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut dibagi dalam lima panel. Satu panel paripurna dan empat panel lainnya meliputi:

Requirement study, System Engineering and Technology Readiness.
Configuration Design and Analysis
Propulsion and Subsystems
Air Combat Systems.

Pesawat tempur KF-X/IF-X dirancang bangun bersama oleh para ahli dari Indonesia dan Korea Selatan. Sejak tahun 2011 lalu, tim dari kedua bangsa telah bekerja keras di Korea Selatan untuk menghasilkan konfigurasi yang bisa memenuhi kebutuhan dan persyaratan operasi Angkatan Udara kedua negara.

Pesawat ini masuk dalam kategori generasi 4,5 yang kemampuannya akan melebihi sejumlah pesawat tempur produk negara lain. Dengan kemampuannya itu diharapkan akan menjadi salah satu pilihan utama bagi sejumlah negara yang membutuhkan pesawat tempur. Sementara untuk pesawat IF-X dirancang bangun sendiri oleh putera-puteri bangsa Indonesia berdasarkan persyaratan operasi murni dari Angkatan Udara Republik Indonesia.

Dengan penyelenggaran acara tersebut di atas, diharapkan tim KFX/IFX mendapatkan masukan untuk dapat dijadikan pegangan dalam melakukan tindakan ataupun berupa rekomendasi untuk perbaikan rancang bangun (desain).

“Bagaimanapun bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan program pesawat tempur yang kita rancang sekarang ini bukan saja akan menjadi salah satu sumber kekuatan alutsista dalam negeri, melainkan juga akan menjadi salah satu posisi tawar NKRI yang diperhitungkan. Putera-puteri terbaik bangsa yang terlibat dalam rancang bangun pesawat tempur KF-X/IF-X adalah para pionir yang melahirkan generasi pertama pesawat tempur dan ini akan menjadi bagian sejarah penting bangsa Indonesia ke depan,” tutur Direktur Utama PTDI Budi Santoso.

Pesaing pesawat ini adalah F18 buatan Amerika Serikat dan Dessault Rafale buatan Prancis. Produksi tipe IFX di dalam negeri menghemat pengeluaran anggaran karena harga jual lebih murah.

Pesawat untuk varian Indonesia yakni IFX akan diproduksi di markas PTDI di Bandung, Jawa Barat. Jet tempur KFX mulai diproduksi secara massal pada tahun 2020. Saat ini tenaga ahli PTDI sedang mempersiapkan rancangan pesawat tempur generasi 4,5 tersebut.
  detik 

★ Radar Canggih LPI Buatan Indonesia ★

Jakarta Kecanggihan dan nilai battle proven kapal perang modern tidak terlepas dari persenjataan dan teknologi radarnya. Seperti radar Low Probability of Intercept (LPI), radar yang dirancang untuk menjadikan kapal sulit dideteksi kapal musuh.

Rata-rata teknologinya dari negara besar seperti Scout MK2 buatan Thales Eropa, SPN 730 buatan Selex ES Inggris, dan negara-negara besar lainnya.

Meski tertinggal dalam teknologi persenjataan, Indonesia ternyata sejak 2009 telah membuat radar canggih ini. Namanya LPI Radar-IRCS, radar buatan PT Infra RCS Indonesia ini menggunakan teknologi Frequency Modulated Continuous Wave (FM-CW).

"Dengan teknologi ini maka daya pancar yang digunakan sangat rendah yaitu di bawah 10 watt untuk dapat memperoleh jarak jangkauan radar yang luas. Di Asia belum ada (produsen), apalagi di Asia Tenggara. Rata-rata mereka menggunakan produk negara maju," ucap Technical Advisor PT Infra RCS Indonesia, Dr Mashruri Wahab di Plaza Aminta, Jakarta Selatan.

Dengan menggunakan frekuensi X-band, Doopler speed bisa mencapai maksimal 40 knot membuat radar LPI semakin penting untuk pengawasan rahasia, pelacakan target, dan operasi siluman. Selain radar LPI, PT Infra RCS Indonesia juga telah memproduksi Electronic Chart Display and Information System (ECDIS) dan Electronik Support Measures (ESM).

"Radar kami bersifat Low Probability of Intercept kita jual satu paket dengan ECDIS bisa juga dengan ESM. Alat ini cocok untuk electronic warfare. Radar LPI dia hidup tapi tidak bisa dideteksi oleh musuh menggunakan detektor yang disebut ESM. Keunggulan radar LPI, musuh akan melihat kita sebagai kapal sipil," tutur Mashruri.

Selain untuk kapal laut, Radar LPI juga dikembangkan untuk wilayah perairan seperti portable coastal radar yang bisa digunakan secara mobile. Radar ini memiliki keunggulan yaitu ukuran lebih kecil, jangkauan deteksi cukup jauh, dengan probabilitas rendah membuat radar ini tidak mudah diketahui pihak lain.

"Sementara untuk di wilayah pantai untuk tahun ini kita sedang mengetes radar coastal kerjasama dengan Dislitbang AL. Seperti kita tahu garis pantai kita kan panjang jadi perlu sekali radar pengawas pantai. Karena wilayah kita banyak lalu lintas kapal asing, lalu juga illegal fishing, kecelakaan, penyelundupan dan lain-lain. Seperti di Maluku, Kalimantan, dan lain-lain," ungkap pria lulusan sebuah universitas Australia ini.

Untuk komponen radar, menurut Mashruri, ada beberapa material masih impor dari negara lain karena belum tersedia di dalam negeri. Ia berharap adanya kebijakan dari pemerintah agar nilai komponen lokal pembuatan radar tanah air bisa meningkat.

"Ada yang kita buat sendiri seperti software dan beberapa hardware. Dan memang untuk material ada yang kita impor ya karena di dalam negeri nggak ada," keluhnya.

Sementara di tempat yang sama, Direktur PT Infra RCS Indonesia, Wiwiek Sarwi Astuti, mengatakan saat ini timnya masih berfokus untuk mengembangkan radar Coastal dan ke depan akan mengembangkan Warship Electronic Chart Display and Information System (WECDIS).

"Untuk Infra ini kan punya misi untuk mendukung kemandirian bangsa dalam produk-produk yang sifatnya strategis jadi produk seperti ini kita usung untuk pelanggan atau end user di Indonesia. Sehingga kita support lebih baik dan kita berikan pelatihan tentang penggunaan," jelas Wiwiek.

Apakah akan mencoba menjual ke luar negeri? "Rencana ada, tapi masih fokus untuk kebutuhan dalam negeri dulu. Kalau nggak kita akan bergantung dengan negara lain terus dan ini menjadi tantangan bagi kami untuk memajukan teknologi bangsa," jawab wanita berkerudung ini.

★ Elang Recon Vehicle, Kendaraan Taktis Pengintai Buatan Pindad ★

 Kendaraan Taktis Pengintai Pindad

Rantis Sherpa sebelum di modifikasi Pindad
Kendaraan taktis intai ini terlihat umum pada suatu acara defile militer yang ternyata dikembangkan oleh Pindad atas basis Renault Sherpa. Rantis ini diberi nama "Elang" merupakan versi armored dan penampilannya terlihat berbeda dengan versi standar.

Terdapat perubahan dilakukan oleh Pindad seperti penambahan lobang tembak pada pintu samping, bentuk kaca anti peluru yang lebih kecil dimensinya serta turret cupola dibagian atap dan terlihat kendaraan ini resmi sudah menggunakan logo cakra tepat diatas radiator grill (logo Pindad). 

Dari beberapa informasi di forum militer dapat disimpulkan kendaraan taktis ini merupakan turunan dari rantis sejenis bikinan Renault, Perancis, Sherpa 4×4. Chasis dan mesinnya dari Renault, sedangkan body dan komponen lainnya direncanakan akan dibuat sendiri oleh PT Pindad.

Apabila rantis ini sudah dapat diproduksi di dalam negeri yang tentu akan lebih memudahkan dalam penyediaan suku cadang dan menekan biaya perawatan lebih murah.

Kendaraan ini diperuntukkan untuk kendaraan taktis intai TNI. Dan ada beberapa unit yang akan dibuat Pindad dan menjadi kesepakatan dalam kontrak pembelian Anoa beberapa waktu lalu.

Alasan Pindad memilih basis Sherpa, karena salah satu syarat pengguna (TNI) adalah agar kendaraan intai ini memiliki kemampuan proteksi sampai dengan STANAG III (setara Anoa). Dan ada kemungkinan bisa di kembangkan sampai dengan STANAG V.

Logo Pindad sudah resmi terpasang
Sedangkan jika memakai basis rantis lain seperti Humvee adalah tidak mungkin, Humvee sendiri diperkirakan hanya bisa sampai STANAG III. Makanya dipilih basis Sherpa, yang memang bisa dipakai armored vehicle sampai dengan STANAG V.

Meskipun payload Sherpa sampai dengan 4 Ton. Kelebihan payload tersebut tidak diperuntukkan untuk membawa barang, tetapi agar bisa meng-handle berat armor proteksi yang akan jadi lebih tebal dan berat bodinya.

Estimasi harga rantis Sherpa di Prancis sekitar Rp 2 Milyar per unit. Maka kelasnya berbeda dengan kendaraan taktis lainnya. Dan inilah yang menjadi acuan Kemhan memilih sebagai kendaraan intai untuk kebutuhan TNI.
 
 Berikut Foto Elang Pindad
 




(sumber dan foto dari formil kaskus, audryliahepburn)

[Foto] KRI Banda Aceh - 593 Bersandar di Pearl Harbor Dalam Latihan Bersama RIMPAC 2014

Latihan Bersama RIMPAC 2014Sebuah kapal memberikan garis pembatas antar kapal perang negara pada KRI Banda Aceh-593 ketika memasuki Dermaga Mike Pier Two, US Naval Base, Hawaii, Rabu (25/6). Kapal perang buatan Indonesia jenis Landing Platform Dock (LPD) tersebut akan bergabung dengan 23 negara dalam Latihan Bersama Multilateral Rim of the Pasific (RIMPAC) M-01 2014. ANTARA/M Risyal Hidayat/fzBerikut Foto KRI 593 Banda Aceh
KRI Bersandar di Pearl Harbor
KRI Bersandar di Pearl Harbor
KRI Bersandar di Pearl Harbor

  Metrotv 

TNI Perkenalkan 'Sang Macan' baru, Eurocopter Tiger dalam HUT ke-69

Dua heli serbu Eurocopter Tiger H61 sedang pamer kelincahan bermanuver. (Foto: REUTERS)Dua heli serbu Eurocopter Tiger H61 sedang pamer kelincahan bermanuver. (Foto: REUTERS)
U
pacara kebesaran HUT ke-69 TNI akan menjadi ajang pertama bagi 'macan' baru TNI memperkenalkan diri kepada warga Indonesia. Macan itu sedang dalam tahap akhir persiapkan fisik di benua Eropa.

Macan itu adalah helikopter serang Eurocopter Tiger H61. Mereka akan melengkapi helikopter serbu MI 35 dan Apache memperkuat TNI AD. Selain itu ada tiga kapal fregat multifungsi untuk TNI AL yang sedang dibangun di Manchester, Inggris.

"Seluruh alutsista yang baru ini akan ikut dalam peringatan Hari TNI 5 Oktober," kata Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin di Paris, Jumat (26/6/2014).

Wamenhan berkunjung ke Paris bersama rombongan Komite Kebijakan Industri Pertahanan. Selain itu mereka ke Belanda juga untuk memastikan perkembangan seluruh alutsista yang dipesan Indonesia untuk jajaran TNI.

"Saat ini seluruh pesanan itu sudah dalam tahap akhir dan akan segera dikirim secara bertahap ke Indonesia," sambung matan Pangdam Jaya ini.

Sjafrie merasa puas karena selain pembelian alutsista ada banyak tawaran bagi pengembangan kerja sama industri pertahanan. Terutama untuk Pindad yang terbuka peluang bagi pengembangan panser Anoa serta kendaraan tempur dan amunisi lainnya.

Bersama Dirut Pindad Sudirman Said, Wamenhan bertemu juga Presiden Volvo Group, Stefano Chmielewski untuk membicarakan pasokan mesin Renault sebagai sumber tenaga Panser Anoa. "Pindad sudah memproduksi 250 unit panser kebutuhan TNI AD. Sekarang Pindad mempunyai kesempatan untuk memasok 250 unit lainnya dan Renault bersepakat untuk memasok kebutuhan mesinnya," kata Sjafrie.(Suryo Pratomo).

  Metrotv 

Usaha Pembuatan Drone Dalam Negeri

Drone Buatan Dalam Negeri Tak Dihargai Lokal Drone Heron

R
iset drone atau pesawat udara nirawak (PUNA) di Indonesia ternyata tidak banyak berkembang. Dana yang minim dan cibiran menghantui perkembangan PUNA di Indonesia.

Menurut Kepala Bidang Teknologi Hankam Matra Udara BPPT, Mohamad Dahsyat, sejak awal dikembangkan di BPPT tahun 2004, kegiatan riset PUNA hanya memiliki investasi total Rp 20 miliar. Ini artinya, BPPT hanya diberikan dana Rp 2 miliar dalam kurun setahun.

Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan dana riset drone yang digelontorkan Amerika. Menurut situs Singularityhub.com, dana riset PUNA untuk tahun 2001 hingga 2013 lalu menghabiskan US$ 26 miliar. Jika dihitung rata-rata per tahun, dana riset tersebut mencapai US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 21 triliun.

"Budget memang menjadi kendala. Selain itu juga kurangnya dukungan. Antara lain, orang kita yang selalu membandingkan produknya dengan negara-negara maju. Tentu saja tidak seimbang. Kita baru belajar, mereka sudah lama," papar Mohammad kepada VIVAnews, Kamis, 26 Juni 2014.

Memang tidak adil jika kita membandingkan drone produk lokal dengan luar negeri. Di Amerika, drone sudah digunakan untuk segala bidang, termasuk untuk persenjataan militer sampai pengiriman barang. Sama halnya dengan Rusia yang berencana memiliki drone 'pembunuh'.

Untuk biaya pembuatan memang membutuhkan investasi mahal. Satu buah drone diperkirakan memakan biaya 300 juta. Sedangkan untuk jasa penyewaan drone, meski murah namun tidak bisa diterapkan untuk kegiatan pengawasan negara.

"Kalau sewa biasanya untuk keperluan sipil namun untuk militer biasanya punya sendiri. Sebagai ilustrasi, untuk pengambilan photo kelas UAV yang short range, untuk perkebunan dengan hanya beberapa luas wiliayah, sekitar Rp 10 juta sampai Rp 30 juta, tergantung dengan perjanjiannya pekerjaannya," papar Mohammad.

Oleh karena itu, katanya, akan lebih menguntungkan jika riset terkait drone terus dilakukan sampai bisa memproduksi banyak PUNA untuk banyak fungsi. Keuntungannya adalah, selain menciptakan lapangan kerja baru, drone buatan sendiri juga bisa dikostumisasi sesuai kebutuhan, bahkan kerahasiaan negara lebih terjamin.

"Secara ekonomi memang tidak terjadi capital flight karena duit mengalir di negeri kita sendiri. Yang paling penting adalah jaminan keamanan rahasia negara. Beda sekali jika kita menyewa atau membeli dari asing. Selain itu kita juga bisa menekan risiko terhadap nyawa pilot dan operator," kata Mohammad.

PUNA buatan dalam negeri diberi nama Wulung yang merupakan hasil keroyokan antara PT Dirgantara Indonesia untuk mengurusi produksi, Lembaha Elektronik Nasional (LEN) untuk sistem komunikasi dan elektronik, serta BPPT untuk bagian riset dan pengembangan.

Dikatakan pemerhati persenjataan militer, Haryo Ajie Nogoseno, Wulung nantinya akan ditemani oleh 4 unit drone baru bernama Heron. Wulung dan Heron akan bersanding di Lapangan Udara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat.

"Heron dapat terbang sejauh 350 km dan mampu terbang terus menerus hingga 52 jam. Dengan kecepatan maksimum 207 km/jam, Heron dengan ketinggian terbang hingga 10.000 meter memang layak menjadi spy plane. Sedangkan Wulung memiliki jarak jelajah 200 km yang di dukung mobile ground station, hanya dimungkinkan untuk pengamatan data secara realtime," papar pendiri situs Indomiliter.com ini.
Teknologi Drone yang Belum Dikuasai RI Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terus mengembangkan kemampuan teknologi pesawat nirawak (drone). Saat ini BPPT sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung dan Sriti, yang mana keduanya didesain untuk pengawasan perairan laut Indonesia.

Meski sudah mampu membuat pesawat nirawak secara mandiri, Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, mengakui penguasaan teknologi masih belum sepenuhnya dimiliki.

"Untuk desain pesawat kita sudah 100 persen kita sendiri. Tapi untuk sistem komunikasi, sistem kendali mash tergantung dengan komponen dari Eropa maupun Amerika Serikat," jelas Joko kepada VIVanews, Senin malam, 25 Juni 2014.

Bagian yang belum dikuasai itu merupakan bagian yang vital dalam pengawasan sebuah wilayah. Misalnya, pasa sisten komunikasi terdapat komponen kamera, muatan pesawat dan sensor, dan RI masih menggantungkan pada pasokan dari negara asing.

Namun BPPT terus mengembangkan komponen dari dalam negeri. Beberapa komponen pesawat nirawak yang sudah dibuat mandiri oleh Indonesia yaitu komponen untuk menghitung perbedaan tekanan udara agar mengetahui kecepatan pesawat.

"Sekarang kami sedang kembangkan komputer kendali terbang baik yang di pesawat maupun yang di darat. Software Ground Station juga sudah dibuat sendiri," jelas Joko.

Joko tak khawatir dengan membeli komponen sistem komunikasi dari luar bakal menimbulkan celah penyadapan pada data pengawasan.

Menurutnya, dengan pengetahuan mendalam pada program komunikasi, data pengawasan bisa dikelola secara aman.

"Yang penting kita bisa akses ke program, bisa ubah program, integrasi maupun troubleshooting sendiri. Itu nilai tambah," kata dia yang tetap menggarisbawahi kemandirian teknologi pesawat nirawak.

 Transfer Teknologi 

Upaya penguasaan teknologi tak dilupakan oleh BPPT. Joko mengatakan BPPT tengah mendidik pengembangan sumber daya manusia, agar nantinya mampu menguasai teknologi nirawak secara khusus.

"Ada yang kami sekolahkan ke luar negeri, harus ada strategi ini supaya mereka nanti dedicated untuk teknologi pesawat nirawak," ujarnya.

Upaya penguasaan teknologi ini juga melalui transfer teknologi, yang diamanahkan dalam UU NOmor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.

Dalam undang-undang itu tercantum amanah tranfer teknologi harus tercapai dalam setiap pembelian alutsista, termasuk alat yang merupakan bagian pesawat nirawak.

"Dari negara manapun, itu harus mengacu pada pokom transfer teknologi," ujarnya.
Sejauh Mana Pengembangan Teknologi Drone RI? https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJvfhS3Fz-8kdCekqsrqLOOMuQDqTmlT7uYwaujxwyrXyvFb8oUrpPJWCP7D6-riSZvTnnULppdg51aXGML7EBbedQvXF63SR_BL6tYgH-MW_vBy1VbEA71Z0iu3WBAT3nawbqyt8X8IE/s1600/UAV+jenis+LSU-02+buatan+Lapan+yang+diluncurkan+dari+korvet+KRI+368+Frans+Kaisiepo.jpgLSU 02 ujicoba di Diponegoro Class

Drone atau pesawat nirawak untuk pengawasan, menjadi topik hangat beberapa hari lalu, saat menjadi bahasan debar capres sesi ketiga antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Tak hanya seru di debat, topik drone juga ramai dibicarakan di sosial media.

Sejauh ini kemampuan Indonesia untuk mengembangkan teknologi pesawat nirawak itu sudah berjalan. Pengembangan teknologi pesawat nirawak itu dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, kepada VIVAnews, Senin malam, 25 Juni 2014 mengatakan institusinya sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung, yang tengah diproduksi, dan pesawat nirawak Sriti.

"Sedang diproduksi di PT Dirgantara Indonesia, Bandung dan digunakan Balitbang Kementerian Pertahanan," kata dia.

Menurutnya dengan kemampuan daya jelajah 200 km, PUNA Wulung bisa dimanfaatkan untuk pengawasan di perbatasan, misalnya di Kalimantan bagian Utara. Namun untuk pengawasan itu diperlukan dukungan base station, sebagai lokasi pendaratan pesawat nirawak itu.

"Pulau Kalimantan itu kan panjangnya sampai 2000 Km, itu harus ada base station. Setidaknya di Kalimantan butuh 4 base station," katanya.

Untuk menjangkau pengawasan seluruh wilayah Indonesia, menurutnya butuh 25 titik base station.

Joko mengakui selama ini pesawat nirawak yang dikembangkan masih untuk memasok untuk kebutuhan pengawasan di wilayah perairan Indonesia. Sama pentingnya, pengawasan di perairan didorong untuk menekan pencurian ikan.

Ditambahkan Joko, pesawat nirawak yang dikembangkan BPPT, masih memiliki keterbatasan yaitu ketinggian terbang, lama terbang dan muatan yang dibawa.

Wulung, jelasnya, hanya mampu terbang dengan ketinggian 12-14 ribu kaki, terbang 6 jam dan tak mampu terbang sampai di atas awan.

"Tidak bisa lihat (area pengawasan) jika di atas awan. Kalau cuaca bagus (Tak ada awan) bisa terbang sampai 20 ribu kaki, tapi jangkauannya 150 km, dan di titik itu nggak bisa online kirim data," katanya.

Ia menambahkan pesawat nirawak Wulung mampu mengirimkan data pengawasan secara realtime dalam terbang ketinggian normal.

Untuk itu, BPPT dalam lima tahun mendatang manargetkan mampu kembangkan pesawat nirawak dengan kemampuan lebih dari Wulung. Pesawat itu dinamakan Medium Altitude Long Endurance (MALE).

Pesawat ini lebih besar dari Wulung, mampu terbang lebih tinggi dan memiliki kelengkapan fasilitas muatan untuk kebutuhan pengintaian.

Data terbangnya lebih dari 20 jam dalam sehari, terbang dalam ketinggian 20-30 ribu kaki.

"Muatannya bukan kamera saja, tapi radar untuk melihat benda di bawah awan," katanya.

Pengembangan pesawat nirawak MALE itu akan didanai oleh Kementerian Pertahanan.

  Vivanews