Minggu, 27 April 2014

Australia Borong 58 Unit F-35 Rp 127 Triliun, Buat Apa Pesawatnya Mr Abbott ?


Pemerintah Australia membeli 58 unit lebih pesawat F-35 Joint Strike Fighters dengan harga AUD 12,4 miliar (US$ 11,6 miliar) atau sekitar Rp 127 triliun. Ini dilakukan untuk memperkuat sektor pertahanan negara.

Lewat pembelian ini, berarti Australia bakal mempunyai 72 unit pesawat jenis tersebut. Rencananya, pesawat yang dipesan ini akan tiba pertama pada 2018, dan mulai dioperasikan 2020.

"Pesawat F-25 akan meningkatkan kemampuan pertahanan dan ketahanan Ausralia," kata Perdana Menteri Tony Abbott seperti dilansir dari AFP, Rabu (23/4/2014).

"Generasi kelima F-35 ini merupakan alat tempur yang paling kuat di dunia, dan bakal vital untuk keamanan negara kami," tambah Abbott.

Pembelian F-35 ini dari perusahaan produsen pesawat asal AS, Lockheed Martin. "Pembelian F-35 ini akan memberikan keuntungan ekonomi signifikan kepada Australia, termasuk juga di area regional dan industri pertahanan nasional," jelas Abbott.

Pemerintah Australia juga mempertimbangkan untuk membeli F-35 lagi untuk menggantikan pesawat F-18 Super Hornets yang sudah tua, dan akan dipensiunkan pada 2022.

Adapun pesawat ini sudah termasuk persenjataan, suku cadang, dan fasilitas perawatan. Lewat pembelian ini, maka Australia akan mengeluarkan dana AUSD 1,6 miliar untuk meningkatkan kapasitas basis pesawat tempurnya di Williamtown, New South Wales.

Menurut data, harga satu unit pesawat F-35 Joint Strike Fighters ini adalah US$ 160 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun lebih. Pesawat ini mempunyai sejumlah kelebihan teknologi canggih, termasuk menghindar dari deteksi radar.

Selain Australia, Korea Selatan juga membeli 40 unit F-35 dari Lockheed Martin tahun ini. Negara-negara yang mempunyai pesawat ini adalah Britania Raya, Kanada, Denmark, Italia, Belanda, Norwegia, dan Turki.
 
 Dibalik Pembelian 58 Pesawat Tempur F35 Oleh Australia

  Perdana Menteri Australia Tony Abbott pada hari Rabu (23/4/2014) akan mengumumkan keputusan pemerintah yang akan membeli 58 buah pesawat tempur siluman F-35 Joint Strike Fighter (JSF) buatan Lockheed Martin dari AS. Pesawat yang dikenal juga sebagai Lightning II itu diputuskan oleh pemerintah Australia, dibeli seharga A$12 miliar. Demikian harian ternama Australia Sydney Morning Herald memberitakan pada hari Selasa (22/4/2014).
Pembelian pesawat tempur berkemampuan stealth (anti radar) generasi kelima sebagai tulang punggung kekuatan udara RAAF itu dikatakan sebagai pembelian terbesar Australia dan akan mensejajarkan Australia menjadi negara maju setelah Jepang juga memutuskan membeli pesawat serupa.
Australia akan menerima pesawat pertama pada Tahun 2018 dan skadron baru itu akan beroperasi penuh pada tahun 2020. PM Abbott menurut SMHU menyatakan, "The fifth-generation F-35 is the most advanced fighter in production anywhere in the world and will make a vital contribution to our national security." Diberitakan juga keyakinan pemerintah Australia, bahwa pesawat F-35 yang akan beroperasi bersama-sama dengan pesawat tempur Super Hornet serta pesawat electronic warfare Growler akan memastikan Australia mampu mempertahankan keunggulan udara di kawasan regional.
Biaya sepenuhnya (life time cost) dari keseluruhan pembelian F-35 itu akan berkisar diangka A$12,4 miliar, termasuk juga perawatan, persenjataan serta spare parts, kini merupakan akuisisi termahal Australia di bidang pertahanan, disamping pembelian kapal selam kelas Collins.
Dislokasi F-35 adalah pada fighter base RAAF  Williamtown di NSW dan Tindal di Northern Territory yang akan dimodernisir dengan biaya A$1,6 miliar untuk keperluan fasilitas serta infrastruktur. Pada saat penulis masih aktif dan pernah mengunjungi hombase fighter tersebut, masing-masing shelter terhubung dengan taxy way yang langsung terhubung dengan run way, sehingga pada saat scramble, kecepatan mengudara beberapa pesawat sangat menakjubkan.
Pesawat tempur F-35 itu sudah direncanakan sejak lama  akan menggantikan peran F/A-18 Hornet yang akan dipensiun pada Tahun 2022, sehingga nantinya JSF akan beroperasi sebagai tulang punggung pertahanan udara (Hanud) bersama-sama 24 buah pesawat tempur Super Hornet serta 12 Growler, sebagai pesawat radar-jamming.
Sebenarnya keputusan pembelian 3 skadron F-35 itu sudah disebutkan dalam buku putih pertahanan Australia Tahun 2013 dari Partai Buruh.
Lieutenant-General Chris Bogdan yang menangani khusus JSF dari Pentagon saat berkunjung ke Australia menyatakan sebenarnya masih banyak masalah yang harus dibenahi dari F-35 khususnya masalah software, sehingga menyatakan sebagai "still a risky, risky business," katanya.
Menhan Australia David Johnson menyatakan, pembelian itu akan menguntungkan industri pertahanan Australia, karena Pemerintahan John Howard pernah melakukan kerjasama dalam produksi JSF, menjadi bagian proyek sebesar A$355 juta dan pada masa mendatang diperkirakan akan mendapat pekerjaan manufaktur sebesar A$1,6 miliar.
Analisis
Keputusan pemerintah Australia tersebut akan merubah balance of power, khusus kekuatan udara di kawasan Asia Tenggara. Sebagaimana diketahui, Amerika juga memberikan kebebasan kepada Pasukan Bela Diri Jepang dengan perkuatan pesawat serupa.
Australia sebagai sekutu AS dikawasan Asia Tenggara memang harus meningkatkan kemampuan gempur serta pertahanan udaranya, karena perkiraan perkembangan geopolitik dan geostrategi dikawasan Laut China Selatan. Tiongkok pada masa depan akan menjadi negara yang sangat diperhatikan oleh AS serta sekutunya. Sehingga Presiden Barack Omaba melakukan perubahan kebijakan luar negeri dengan "strategic rebalancing" dan menggeser kekuatan tempurnya kekawasan Asia Pasifik yang disebut sebagai poros.
Dengan keputusan pembelian tiga skadron F-35 itu maka Australia pada Tahun 2020 akan mempunyai kekuatan serta kemampuan udara yang lebih unggul dibandingkan Indonesia. Pesawat F-35 yang dikenal anti radar serta pesawat Growler berkemampuan jamming akan menjadi kekuatan udara terunggul di antara negara-negara Asia Tenggara. Disamping itu, F-35 merupakan pesawat berkemampuan stealth yang dapat membawa bom pintar akan mampu menyusup  ke wilayah manapun hingga garis belakang pertahanan sebuah negara.
Kondisi ini yang mampu merubah balance of power di kawasan, sehingga semakin jelas  terjadi perbedaan kekuatan udara dengan Indonesia (TNI AU).  Saat ini dengan kepemilikan pesawat Sukhoi 27 dan Sukhoi 30, kemampuan pesawat tempur TNI AU berada diatas kemampuan pesawat tempur Australia (RAAF) super hornet sekalipun. Ini dibuktikan pada saat latihan bersama Pitch Black pada Tahun 2011. Para ahli strategi militer Australia membuat pernyataan mengejutkan, bahwa apabila terlibat pertempuran udara, para penerbang RAAF akan ditembak jatuh oleh penerbang TNI AU sebelum mereka sadar.
Nah, dengan rencana Australia itu, nampaknya TNI AU harus memikirkan renstra-renstra  mendatang apabila akan melakukan pengadaan pesawat tempur baru. Indonesia dengan kemampuan TNI AU yang sudah mengoperasikan Sukhoi, hanya membutuhkan selangkah lagi untuk dapat memiliki pesawat tempur canggih Rusia lainnya generasi yang lebih maju, seperti Sukhoi-35 dan  jet tempur T-50  PAK FA (Prospective Airborne Complex of Frontline Aviation) yang juga berkemampuan siluman. Harga jet tempur Rusia harganya jauh lebih murah dibandingkan F-35 yang harganya mencapai US$95 juta perbuahnya (belum termasuk senjata).
Walaupun kita mengetahui bahwa keputusan pembelian JSF untuk RAAF dalam rangka pembangunan kekuatan jaringan AS dan sekutunya dalam mengantisipasi sikon di Laut China Selatan, paling tidak TNI AU sebaiknya mulai memikirkan agar keseimbangan tetap terjaga. Tidak dalam arti perlombaan senjata, tetapi paling tidak dengan harapan ekonomi membaik dari pemerintahan baru, kita juga mampu menyeimbangkannya. Paling tidak Sukhoi-35 adalah pilihan terbaiknya. Dengan demikian pada saatnya nanti, tidak ada negara yang "nose up" kepada Indonesia. Daya kepruk udara memang harus tetap dijaga. Semoga bermanfaat.
 

0 komentar:

Posting Komentar